JAKARTA – Peran pers Indonesia dalam konflik Palestina-Israel telah berevolusi dari sekadar pelaporan berita menjadi kekuatan strategis dalam perang opini global. Dalam Seminar Internasional “The Role of Indonesian Media in Palestine’s Effort to Achieve True Independence” yang digelar Jumat (7/11/2025), terungkap bagaimana media nasional secara sistematis membongkar disinformasi dan menciptakan narasi tandingan yang berpihak pada kemanusiaan.

Dr. Bilal Khalil, Direktur Eksekutif Palestine International Forum for Media and Communication Tawasol, menyoroti keselarasan jurnalisme Indonesia dengan konstitusi. “Komitmen pers Indonesia untuk menghapus penjajahan di muka bumi, seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, tidak hanya retorika. Itu terwujud dalam setiap liputan yang membela hak-hak rakyat Palestina,” ujarnya.
Strategi di Lapangan dan Ruang Redaksi
Desi Fitriani,Jurnalis Senior Metro TV yang telah tiga kali meliput langsung dari Gaza, membongkar tantangan teknis di lapangan. “Kami bergantung pada terowongan bawah tanah untuk mengirimkan bantuan, termasuk mie dan ban produksi Indonesia, demi menghindari blokade Israel. Di ruang redaksi, tantangannya lebih halus: kami harus jeli memilah footage dari agensi Barat agar tidak terjebak narasi yang menyudutkan Palestina,” papar Desi.
Strategi ini dilanjutkan di dunia digital. Pizaro Gozali, mantan jurnalis Anadolu Agency, menekankan perlunya ofensif di media baru. “Media arus utama global seringkali fokus pada ‘reaksi’ Palestina, bukan pada ‘aksi’ Israel yang sebenarnya adalah akar masalah. Di ruang digital, kita harus membalik narasi ini dan mengekspos upaya cuci tangan Israel,” tegas Pizaro.
Dari Liputan Emosional ke Analisis Substantif
Dr.Asep Setiawan, mantan anggota Dewan Pers, memetakan evolusi liputan Indonesia dalam tiga fase utama. “Awalnya (Okt-Des 2023) didominasi solidaritas emosional. Lalu transisi (Jan-Jun 2024) menuju liputan analitis. Kini (Jul 2024-Jul 2025), pemberitaan telah substantif, kritis, dan fokus pada analisis hukum humaniter internasional serta kejahatan perang,” jelas Asep.
Pemimpin Redaksi indo.palinfo.com, Ahmad Tirmizi, menambahkan, “Israel tidak hanya melakukan genosida fisik, tetapi juga ‘pembunuhan terhadap kebenaran’. Tugas pers adalah membongkar ini dengan menyoroti laporan PBB yang terdokumentasi tentang penghancuran sistematis di Gaza.”
Seni dan Hukum sebagai Senjata Baru
Aktivis Annisa Theresia menegaskan bahwa perlawanan kini juga terjadi di front budaya.”Melalui lagu seperti ‘Hinds’Hall’ karya Macklemore yang mengisahkan tragedi Hind Rajab, atau instalasi seni global, kita menyatukan suara untuk membongkar kejahatan kemanusiaan yang disiarkan langsung via streaming,” ujarnya.

Seminar ini menyimpulkan bahwa pers Indonesia telah menjadi game changer yang tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga aktif membentuk persepsi global dan mendorong akuntabilitas internasional untuk kemerdekaan Palestina.
































